Kategori: | Film |
Jenis | drama |
Setelah
kecewa menonton Nagabonar 2 di Indonesia, saya surprised juga ketika
menonton film 'Denias' ini. Ceritanya kuat, berdasarkan satu kisah
sejati. Bersetting alam Papua yang indah dan yang pernah (masih deng!)
saya mimpikan untuk dinikmati, film ini digarap cukup baik. Ari
Sihasale, sang produser dan salah satu peran pembantu, nampak cukup
serius di sini. I hardly find anything to criticize here (unlike,
again, Nagabonar 2!). Dan dua jempol dengan bersemangat saya acungkan
buat Albert Fakdawer, pemeran Denias sekaligus pelantun theme song-nya
(suwerrr, suaranya kerrennn...!). Ia bermain dengan pas, ya keluguannya, ya kekerasan hatinya, ekspresinya juga pas.
'Denias' mengisahkan perjuangan seorang bocah Papua bernama Denias, yang bercita-cita sekolah tinggi. Pak Guru (Mathias Mucus), yang mengajar sekolah sederhana (berbentuk bedeng) di kampungnya, harus pulang ke Jawa. Pak Guru lah yang pertama menggugah semangat Denias untuk terus sekolah. Rasa kehilangan Denias masih berlanjut, karena ibunya meninggal. Hanya Maleo (Ari Sihasale), teman dekat Denias, seorang prajurit ABRI yang ditugaskan di Papua, yang bisa mendekati dan menghibur Denias. Melalui berbagai hambatan, Maleo menggantikan Pak Guru mengajar anak-anak di sana, terutama Denias. Tetapi Maleo pun harus pergi, dan Denias mengembara ke kota untuk mencari sekolah.
Sekolah di kota yang didatangi Denias adalah sekolah swasta (sepertinya sekolah Kristen), yang tidak bisa begitu saja menerima Denias, yang rapor pun tidak punya. Berkat perjuangan salah seorang guru (Marcella Zalianty) di sana, Denias bisa bersekolah di sana, walau hambatan tidak berhenti di situ.
Karakter Maleo cukup 'intriguing' di sini. Siapa dia, dan apa nama sebenarnya. Maleo adalah nama sejenis burung asli Papua, dan sesungguhnya adalah nama kesatuan unit (kompi? peleton?) yang ditugaskan ke Papua. Mungkin nama ini melekat di baju seragam Maleo, dan manjadi nama panggilan bagi orang-orang di sana. Tapi nama aslinya tidak diketahui, sehingga menyulitkan Denias untuk mencarinya.
Ada tokoh lain juga yang unik. Enos, lelaki yang ditemui Denias saat mencari sekolah. Enos yang polos menghadirkan kelucuan di sana-sini, dan terkadang mencuri adegan. Saya kurang tau pemainnya, tapi peran ini dibawakan dengan baik sekali olehnya.
Di lain pihak, Nia Zulkarnaen sebagai Ibu Asrama kurang meyakinkan. Judesnya cukupan lah, tapi mestinya ada lebih dari sekadar kejudesan untuk menggambarkan karakter sang ibu asrama.
Keseluruhannya, film ini sangat layak ditonton, bahkan recommended. Walau di lingkungan Kristen (sekolah dan nama-nama karakternya), tidak nampak pengajaran Kristen di sini, hanya sebagai setting saja. Yang jelas, film ini memperbaharui pandangan saya mengenai film Indonesia. Ternyata film Indonesia bukan melulu film kacangan yang gak genah. Film ini jelas punya greget. Artistik, juga ada pesan moral yang bisa kita renungkan. Saya sendiri sekarang menggunakan film ini untuk melengkapi pengajaran bahasa Indonesia ke anak-anak saya. Sambil menyelam minum air... Dan saya perhatikan, film ini juga menggugah patriotisme anak-anak saya. Mereka yang memang selalu saya tekankan sebagai anak Indonesia, merasa memiliki dan suka (baca: bangga) dengan film ini. Mereka juga ikut bernyanyi atau mengiringi dengan recorder saat Denias menyanyikan lagu Indonesia Raya. Indonesia, tanah airku...
'Denias' mengisahkan perjuangan seorang bocah Papua bernama Denias, yang bercita-cita sekolah tinggi. Pak Guru (Mathias Mucus), yang mengajar sekolah sederhana (berbentuk bedeng) di kampungnya, harus pulang ke Jawa. Pak Guru lah yang pertama menggugah semangat Denias untuk terus sekolah. Rasa kehilangan Denias masih berlanjut, karena ibunya meninggal. Hanya Maleo (Ari Sihasale), teman dekat Denias, seorang prajurit ABRI yang ditugaskan di Papua, yang bisa mendekati dan menghibur Denias. Melalui berbagai hambatan, Maleo menggantikan Pak Guru mengajar anak-anak di sana, terutama Denias. Tetapi Maleo pun harus pergi, dan Denias mengembara ke kota untuk mencari sekolah.
Sekolah di kota yang didatangi Denias adalah sekolah swasta (sepertinya sekolah Kristen), yang tidak bisa begitu saja menerima Denias, yang rapor pun tidak punya. Berkat perjuangan salah seorang guru (Marcella Zalianty) di sana, Denias bisa bersekolah di sana, walau hambatan tidak berhenti di situ.
Karakter Maleo cukup 'intriguing' di sini. Siapa dia, dan apa nama sebenarnya. Maleo adalah nama sejenis burung asli Papua, dan sesungguhnya adalah nama kesatuan unit (kompi? peleton?) yang ditugaskan ke Papua. Mungkin nama ini melekat di baju seragam Maleo, dan manjadi nama panggilan bagi orang-orang di sana. Tapi nama aslinya tidak diketahui, sehingga menyulitkan Denias untuk mencarinya.
Ada tokoh lain juga yang unik. Enos, lelaki yang ditemui Denias saat mencari sekolah. Enos yang polos menghadirkan kelucuan di sana-sini, dan terkadang mencuri adegan. Saya kurang tau pemainnya, tapi peran ini dibawakan dengan baik sekali olehnya.
Di lain pihak, Nia Zulkarnaen sebagai Ibu Asrama kurang meyakinkan. Judesnya cukupan lah, tapi mestinya ada lebih dari sekadar kejudesan untuk menggambarkan karakter sang ibu asrama.
Keseluruhannya, film ini sangat layak ditonton, bahkan recommended. Walau di lingkungan Kristen (sekolah dan nama-nama karakternya), tidak nampak pengajaran Kristen di sini, hanya sebagai setting saja. Yang jelas, film ini memperbaharui pandangan saya mengenai film Indonesia. Ternyata film Indonesia bukan melulu film kacangan yang gak genah. Film ini jelas punya greget. Artistik, juga ada pesan moral yang bisa kita renungkan. Saya sendiri sekarang menggunakan film ini untuk melengkapi pengajaran bahasa Indonesia ke anak-anak saya. Sambil menyelam minum air... Dan saya perhatikan, film ini juga menggugah patriotisme anak-anak saya. Mereka yang memang selalu saya tekankan sebagai anak Indonesia, merasa memiliki dan suka (baca: bangga) dengan film ini. Mereka juga ikut bernyanyi atau mengiringi dengan recorder saat Denias menyanyikan lagu Indonesia Raya. Indonesia, tanah airku...
0 komentar:
Posting Komentar