Perbedaan orang yang sukses dan yang gagal terletak pada cara menyikapi kekagalan tersebut. Orang yang gagal begitu jatuh, ia tak pernah bangun lagi. Sedangkan orang yang sukses, begitu jatuh ia akan bangun. Filosofi keluarga Tionghoa belum mau putus asa sebelum gagal lebih dari tiga kali, sedangkan orang Jepang akan bangkit terus sebelum gagal tujuh kali. Itulah cara mereka menyikapi dari kegagalan.
John Styth Pemberton menjual Coca-Cola mengalami kegagalan pada tahun pertama penjualannya. Penjualan dilakukan dengan menempatkan Coca-Cola pada tempat minuman di Apotek dan menghabiskan dana 73,96 dolar untuk melakukan promosi lewat spanduk dan kupon iklan. Kegagalan tersebut membuat Pemberton membuat sadar adanya media lain, yaitu media massa yang mempunyai kekuatan lebih dibanding media lainnya saat itu dan mempromosikan Coca-Cola dengan suasana kegembiraan. Itupun juga tetap gagal, yang akhirnya dijual kepada Asa Candler. Sisi positif dari kegagalan dibaca oleh Asa Candler. “Kami membutuhkan sebuah botol di mana seseorang akan mengenalnya sebagai Coca-Cola bahkan ketika dia merasakan di kegelapan” kata Candler. Kontes botol inilah sebagai awal kesuksesan Coca-Cola.
Ketika saya gagal memasuki Perguruan Tinggi yang saya idam-idamkan, yaitu Institut Teknologi Bandung jurusan Mesin, Maka saya menerima dengan lapang ketika diterima di FMIPA Fisika UGM. Saya sikapi dengan sikap mental positif. Barangkali Tuhan menghendaki saya untuk ada di dunia pendidikan. Alhamdulillah, sekarang saya telah mengelola lebih dari sepuluh Perguruan Tinggi dari Akademi sampai Universitas.
Ketika Primagama didirikan dengan modal yang sangat kecil, hanya mampu menyewa ruangan Rp25.000,00 per bulan. Setelah 3 bulan kita disuruh untuk pindah. “Dik Purdi biasanya kita berbicara masalah kekeluargaan, tetapi kali ini saya mau bicara masalah bisnis. Mengingat Anda belum melunasi sewa rumah saya selama tiga bulan, maka saya mohon semua barang yang ada di rumah saya ini Anda bawa pulang”, kata pemilik rumah. Pak Purdi menjawab, “Saya bersama kawan-kawan, baru saja menyebar brosur Pak. Mohon saya diberi kesempatan”. “Saya beri waktu satu minggu rumah saya harus bersih”, kata pemilik rumah. Kemudian Pak Purdi pulang menemui saya dan menyampaikan apa yang dikatakan si pemilik rumah. Ketika itu saya menjawab, “Insya Allah ada hikmahnya”. Kemudian kita berdua berjuang menyebar brosur agar dapat siswa dan tidak menyia-nyiakan waktu satu minggu itu. Dalam satu minggu itu akhirnya kami mendapatkan uang Rp50.000,00. Kemudian, saya bersama Pak Purdi mencari tempat lain dan akhirnya mendapat tempat dengan sewa Rp30.000,00 per bulan. Kantor yang baru sedikit lebih baik dibanding kantor yang lama. Saya katakan, “Benar kan, ada hikmahnya”. Pak Purdi mengangguk.
Demikian juga ketika saya mendirikan STMIK AMIKOM Yogyakarta, saya minta kepada Primagama untuk disewakan tempat atau kantor. Tetapi Primagama tidak mau menyewakan tempat atau kantor. Saya harus bersikap mental positif. “Barangkali saya harus belajar menemukan cara ketika tidak mempunyai uang untuk menyewa kantor” kata saya dalam hati. Dari kesulitan ini akhirnya saya menemukan jalan, yaitu mendatang pemilik rumah kosong di Jl. Monginsidi No. 8. Hal itu terjadi pada bulan April 1994.. Pemilik rumah itu bernama Bapak Drs. Budi Sutrisno. “Pak, saya ingin menyewa rumah Bapak selama dua tahun” kata saya. “Boleh. rumah itu kosong” kata Pak Budi. Kemudian saya mencoba untuk menyewa dengan membayar bulan Agustus dan September. Pak Budi membolehkan untuk disewa dengan syarat dinotariskan. Setiap kegagalan selalu ada sisi positifnya. Jika kita telah mengetahui sisi positifnya atau kita bersikap mental positif, maka itulah awal dari kesuksesan.
sumber: http://msuyanto.com
0 komentar:
Posting Komentar