Apa yang terlintas dalam pikiran anda sejenak ketika berbicara tentang rubik’s cube atau sebut saja rubik? Sebagai permulaan, pastilah ada beberapa orang yang bertanya dalam hatinya: hal, benda, atau ilmu macam apa itu rubik? Bagi mereka yang belum tahu apa itu rubik, seketika mereka tahu tentang rubik, secara psikologis, ada yang hanya ingin sekedar tahu, dan beberapa ingin tahu lebih dalam. Rasa ingin tahu memang menjadi pemicu seseorang untuk menapaki lebih jauh perihal atau ilmu tentang rubik.
Secara sederhana, rubik’s cube atau rubik merupakan suatu jenis permainan. Bentuk rubik bervariasi, mulai dari rubik kubus, kubus tanpa poros, bola, dan heksagonal. Namun, diantara sekian jenis rubik itu, rubik kubus, khususnya kubus dengan dimensi 3 x 3 lebih memperoleh ketenaran tersendiri dalam pandangan publik. Bagi mereka yang sudah tahu sedikit tentang rubik, beberapa hanya berpikir tentang bentuk 3 x 3 yang eksis dalam dunia rubik. Lebih lanjut, bagi mereka yang memiliki rasa keingintahuan yang besar, pastilah mereka ingin memahami cara permainannya. Kemenangan dalam permainan ini secara mendasar diraih ketika anda berhasil menyusun 6 warna pada tiap sisi kubus (rubik) menjadi sama.
Sejarah rubik
Dari negara manakah rubik berasal? Mulanya, saya mengira jepanglah pencetus mainan kreatif ini. Namun, penerawangan saya kurang tepat. Walaupun banyak orang Jepang, khususnya anak-anak, bermain rubik, sejatinya Rubik’s Cube secara resmi lahir pada tahun 1974 di Budapest, ibukota Hungaria. Mengacu pada penafsiran Alfredo Fernando tentang definisi rubik’s cube bahwa rubik adalah suatu permainan, rubik terlahir bukan secara biologis melainkan melalui suatu penemuan dan penelitian yang jenius dari seorang dosen bernama Erno Rubik.
Walaupun tahun 1974 menjadi ajang peresmian rubik, proses-proses yang mengarah ke penemuan dimulai beberapa tahun sebelumnya. Pada waktu itu, Erno Rubik adalah seorang dosen di Departemen Desain Interior di Akademi Seni Terapan dan Kerajinan di Budapest. Beliau memiliki minat dalam geometri, dalam studi tentang bentuk-bentuk 3D, dalam konstruksi dan dalam mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang tersembunyi kombinasi bentuk dan bahan, bukan hanya secara teori, tapi juga dalam praktiknya.
Dalam perjalanannya, Erno Rubik lebih suka mengkomunikasikan ide-idenya dengan menggunakan model nyata, terbuat dari kertas, kardus, kayu atau plastik, dan menantang murid-muridnya untuk melakukan percobaan dengan memanipulasi bahan yang dibangun secara jelas dan mudah diinterpretasikan sebagai suatu bentuk. Itu adalah kesadaran bahwa unsur-unsur paling sederhana sekalipun, jika secara cerdik dan kreatif digunakan dan dimanipulasi, akan menghasilkan berbagai bentuk yang bermanfaat. Kesadaran inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran rubik’s cube.
Pada 1978, tanpa promosi atau publikasi, rubik mulai perlahan-lahan digemari kalangan remaja dan pemuda.Melalui penyampaian lisan, dari mulut ke mulut, berita tentang rubik menyebar luas, dan pada awal tahun 1979, terdapat berbagai kelompok antusias penggemar rubik di berbagai wilayah Hungaria.
Pengaruh dan manfaat rubik
Tantangan untuk berusaha menguasai permainan ini, yakni untuk dapat mengembalikan seluruh enam sisi kubus menjadi warna aslinya, tampaknya memiliki efek hipnotis pada beragam individu yang luar biasa tanpa mengenal batasan umur, pekerjaan, kekayaan dan kedudukan sosial. Namun, adalah anak muda, anak sekolah dan mahasiswa, yang berada di barisan terdepan dalam membuat gerakan besar-besaran perkembangan rubik yang melanda dunia. Mereka adalah orang-orang yang terbukti paling ahli dalam memecahkan teka-teki, membentuk klub rubik’s cube, mengatur tata cara kompetisi rubik, dan yang terpenting adalah bahwa mereka rela menderita sakit pergelangan tangan untuk bermain rubik terus-menerus selama berjam-jam dan bahkan berhari-hari dengan sebuah teka-teki tiga dimensi nan misterius itu.
Selain pengaruh secara mendunia, rubik’s juga memiliki pengaruh dalam hal paradigma. Dalam masyarakat modern, aktor permainan rubik akan dianggap sebagai seorang jenius apabila dapat menyelesaikan permainan itu. Apalagi, jika sang pemain mampu meyelesaikan rubik dalam waktu sangat singkat. Sebagai teladan (contoh yang baik), Erik Akkersdiijk, seorang berkebangsaan belanda, mampu menyelesaikan suatu rubik 3×3 teracak hanya dalam waktu 7,08 detik. Lantas, paradigma yang muncul adalah bahwa ia seorang jenius, lalu pada akhirnya beberapa orang mulai terpatri pemikirannya bahwa rubik’s cube merupakan permainan yang jenius.
Memang, secara biologis, permainan rubik dapat dirasakan manfaatnya. Pertama, melatih saraf sensorik, ketika anda belajar mengenali warna dan pola dari bentuk 3D rubik. Kemudian, saraf motorik juga akan terlatih, karena koordinasi jari-jari tangan dalam bermain, terutama dalam melakukanspeedcubing (bermain dengan kecepatan tinggi). Lebih jauh, rubik’s cube akan melatih daya ingat ketika si pemain melakukan memorisasi pola-pola tertentu untuk menyelesaikan rubik yang teracak. Dan, terakhir, permainan ini akan melatih logika geometri atau susun bangun dalam kerangka otak pemain rubik.
Melalui tulisan ini, saya sama sekali tidak mengharapkan pembaca sekalian untuk membeli rubik dan kemudian memprioritaskan rubik dalam 24 jam hidup anda tiap harinya. Terlalu hiperbola rasanya pernyataan tersebut. Namun, terkilas dalam bayangan saya, alangkah berfaedahnya permainan simpel dan praktis ini digunakan dalam mengisi waktu luang anda, khususnya untuk anak-anak.
Sunggu ironis jika melihat anak-anak abad XXI di Indonesia mengisi waktu luang mereka dengan menonton sinetron yang kurang - bahkan cenderung tidak - mendidik dan bermanfaat. Dengan mempertimbangkan berbagai manfaat permainan rubik dan ajakan persuasif saya yang tersirat dalam judul tulisan ini, saya rasa permainan ini juga akan sangat bermanfaat bagi orang tua yang ingin membelikan mainan untuk sang buah hati. Jika sebagian besar anak Indonesia memainkan rubik, bukan tidak mungkin, tingkat kecerdasan anak Indonesia pun akan meningkat.
0 komentar:
Posting Komentar